Pages

Sabtu, 16 November 2013

Manusia dalam Pandangan Islam


Islam juga memandang manusia sebagai suatu maujud yang mempunyai beberapa dimensi, yang penciptaannya dimulai dari materi yang tidak mempunyai kecerdasan, namun setelah meniti peringkat-peringkat kesempurnaan ia berubah menjadi satu bentuk maujud yang lebih utama dari materi.

Allah Swt menggambarkan penciptaan manusia sebagai berikut:



"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang paling baik" (QS. al-Mukminun:12-14).


Pada ayat di atas, setelah menjelaskan tahapan-tahapan kesempurnaan materi manusia dan sampainya manusia kepada ujung batas potensinya dan menerima ruh mujarrad, Allah Swt berfirman, Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Allah Swt menyebut makhluk baru itu dengan makhluk yang lain, yang berbeda dengan dasar ciptaan-ciptaan sebelumnya-yang merupakan ciptaan yang bersifat materi. Maksudnya, ciptaan baru yang berbentuk diri manusia lebih baik dari ciptaan-ciptaan sebelumnya. Dengan kata lain, lebih sempurna dan terbebas dari materi. Di sini, penciptaan sesuatu yang mujarrad dari sesuatu yang materi dan berubahnya suatu bentuk materi menjadi bentuk mujarrad sungguh sesuatu yang sangat penting dan amat mencengangkan. Pada akhir ayat di atas Allah Swt berfirman, Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang paling baik. Perlu diperhatikan, bahwa Allah Swt menggambarkan penciptaan manusia dengan ungkapan ansya'ânu, yang berarti mencipta dengan tanpa perantara.


Pada ayat yang lain Allah Swt menjelaskan kisah penciptaan manusia sebagai berikut:


"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur" (QS. as-Sajdah:7-9).


Ayat di atas memberi isyarat kepada satu poin penting: Pertama, pada saat ruh manusia hendak ditiupkan, tubuh ini disempurnakan terlebih dulu dan begitu juga kemampuan menerimanya. Kedua, ruh manusia sedemikian penting dan berharganya sampai Allah Swt menisbahkannya kepada Diri-Nya. Maksudnya, ruh itu berasal dari alam yang tinggi dan mujarrad.

Pada ayat lain Allah Swt juga memberi isyarat kepada dua poin penting di atas:


"Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud" (QS. al-Hijr:29).


Pada ayat ini pun Allah Swt menyebutkan kemampuan dan kelayakan materi sebagai syarat ditiupkannya ruh, dan memperkenalkan bahwa ruh adalah maujud luhur yang dinisbahkan kepada Diri-Nya. Dan disebabkan keistimewaan besar inilah manusia memperoleh kedudukan di mana para malaikat layak bersujud kepadanya.


Dalam ayat lain Allah Swt menyebut ruh manusia sebagai wujud terbaik:


"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (QS. al-Isra:85).


Pada ayat di atas, Rasulullah saw diperintahkan bahwa dalam menjawab orang yang bertanya tentang ruh mengatakan, bahwa ruh adalah bersumber dari ciptaan khusus Tuhanku, yang tidak melalui tahapan waktu dan tidak membutuhkan perantara.


Berkenaan dengan ayat di atas, Almarhum Allamah Thabathaba'i melakukan pembahasan secara rinci dan mendalam tentang alam amr dan ruh. Beliau mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ruh dan amr. Dengan meneliti dan membandingkan di antara ayat-ayat tersebut, beliau menarik kesimpulan, bahwa amr yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut adalah perbuatan dan penciptaan Allah Swt yang tidak memerlukan kepada sebab-sebab dan faktor-faktor tabiat, serta tidak memerlukan kepada gerak, proses dan waktu, melainkan tercipta hanya dengan penciptaan takwînî dan semata-mata dengan kata kun (jadilah),


Allah Swt berfirman dalam al-Quran Karim:



"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah", maka terjadilah ia. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan" (QS. Yasin:82-83).


Dalam ayat lain Allah Swt berfirman:



"Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti sekejap mata" (QS. al-Qamar:50).

Oleh karena itu, penciptaan dengan satu perintah adalah lebih tinggi dan lebih baik dari penciptaan secara bertahap dan alami, karena tidak memerlukan kepada gerak, potensi dan waktu, melainkan dengan serta merta tercipta. Dengan demikian, maka perkara yang seperti ini sudah tentu terlepas dari materi dan waktu.


Atas dasar itu, Allah Swt memerintahkan kepada Rasulullah saw bahwa dalam menjawab orang yang bertanya tentang ruh cukup dengan mengatakan, ruh itu termasuk kategori amr (perintah), yaitu lebih baik dari materi, gerak dan waktu.[5]


Dari ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah maujud mulia dan istimewa, karena hakikat dirinya terbentuk dari ruh mujarrad, yang merupakan maujud yang lebih baik dan lebih utama dari materi.


Masalah ke-mujarrad-an diri dan ruh manusia adalah masalah filsafat yang pelik yang membutuhkan pembahasan yang panjang, yang tentunya berada di luar pembahasan buku ini. Bagi kalangan yang berminat, mereka dapat merujuk kepada buku-buku filsafat, tafsir dan ilmu kalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar